Ajaranini pada dasarnya percaya bahwa orang-orang yang meninggal akan bangkit segera. Apapun Doktrin tentang dimana posisi manusia setelah kematian, yang terpenting dari itu Allah telah menjamin kematian orang percaya. Paling tidak ada 2 jaminan : Pertama, Allah menyiapkan tempat (II Kor 5:1a). Keyakinan Rasul Paulus : Allah menyiapkan tempat
Sistemkami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS orang yang tidak percaya akan adanya tuhan . Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS (Teka Teki Silang) populer
RenunganHarian (Jumat, 15 Juli 2022) << Jumat, 15 Juli 2022 >>. Bacaan: MATIUS 13:1-23. Bacaan Setahun: Mazmur 119. Nas: "Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat." (Matius 13:23)
Sebanyak88.214 orang terinfeksi dan 4.239 orang meninggal dunia. Di dunia, virus yang pertama berasal dari Wuhan, Hubei, China ini telah menginfeksi 14,6 juta orang dan 609.511 orang meninggal dunia. Meskipun demikian, masih banyak orang yang tak percaya dengan adanya virus yang sudah ditetapkan WHO sebagai pandemi global tersebut.
Oleh: Pater Fredy Jehadin,SVD. TRIBUNFLORES.COM - Simak renungan Katolik hari ini, Selasa 10 Mei 2022. BACAAN PERTAMA Kisah Para Rasul 11: 19 - 26 dan INJIL YOHANES 10: 22 - 30. Tidak lama kemudian tibalah hari raya Pentahbisan Bait Allah di Yerusalem; ketika itu musim dingin. Dan Yesus berjalan-jalan di Bait Allah, di serambi Salomo.
3Alasan Ateis Tidak Percaya Keberadaan Tuhan. Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos. Ini merupakan topik yang sangat blur atau tidak jelas bagi semua orang, termasuk juga bagi yang menganut paham ateisme dan juga orang yg punya "agama". Membuktikan keberadaan Tuhan terasa sangat abstrak, sulit, dan mustahil dilakukakan.
U1ceEOQ. Istilah agnostik akhir-akhir ini kerap diperbincangkan oleh beberapa masyarakat. Bahkan, fenomena pengakuan seseorang yang menjadi seorang agnostik juga telah ditemukan baik di kehidupan nyata maupun platform media sebenarnya merupakan istilah populer dari agnostisisme. Agnostisisme berasal dari bahasa Yunani, “gnostein” artinya tahu; mengetahui dan “a” artinya tidak. Sementara secara harfiah, agnostisisme adalah seseorang yang tidak seorang filsuf bernama William L. Rowe, agnostik adalah seseorang yang tidak percaya atau mendustakan keberadaan Tuhan. Kemudian dalam arti sempit, agnostik adalah pandangan bahwa akal manusia secara rasional tidak mampu membenarkan keberadaan apa saja sebenarnya bentuk-bentuk agnostik yang ada di dalam kehidupan manusia? Simak ulasan lengkapnya yang dilansir dari Merajut Damai dalam Kebinekaan karya Ahmad Nurkholis 201782.Bentuk-bentuk AgnostikDalam perkembangan selanjutnya, agnostik dapat dibagi menjadi beberapa bentuk yang hingga kini juga masih diperdebatkan keberadaannya, di antaranya meliputiKategori agnostik ateisme adalah mereka yang ragu mengenai keberadaan Tuhan. Sehingga mereka memilih untuk tidak mempercayai adanya ini ragu mengenai keberadaan Tuhan, namun memilih mencoba mempercayai Tuhan secara personal. Sehingga, mereka tidak butuh memeluk suatu agama tertentu untuk menyembah Apatis atau Agnostisisme PragmatisMereka yang termasuk ke dalam bentuk agnostik pragmatis memiliki pandangan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan ada atau tidaknya Tuhan dalam bentuk apapun. Agnostik Berbeda dengan AteismeSecara sederhana, agnostik seringkali hampir disamakan dengan paham ateisme. Padahal, sebenarnya keduanya mengandung pengertian dan praktik yang berbeda. Seseorang yang menganut paham ateisme, secara tegas menyakini Tuhan itu tidak ada. Bagi mereka, alam semesta termasuk makhluk di dalamnya merupakan proses alamiah yang terjadi dalam rentang waktu yang sangat agnostik hanya menyatakan bahwa dirinya tidak tahu, entah keberadaan Tuhan itu ada atau tidak. Meskipun secara praktik ateisme dan agnostik memiliki tujuan masing-masing, keduanya sama-sama menolak konsep agama.
Jawaban cepat dan mudah mengapa orang-orang beragama adalah bahwa Tuhan–dalam bentuk apa pun yang Anda percayai–adalah nyata dan orang-orang percaya karena mereka berkomunikasi dengan-Nya dan merasakan bukti keterlibatan-Nya di dunia. Hanya 16% orang di seluruh dunia tidak religius, tapi ini setara dengan sekitar 1,2 miliar individu yang merasa sulit untuk merekonsiliasi ide-ide agama dengan apa yang mereka ketahui tentang dunia. Mengapa orang-orang percaya adalah pertanyaan yang mengusik para pemikir besar selama berabad-abad. Karl Marx, misalnya, menyebut agama sebagai “candu rakyat”. Sigmund Freud merasa bahwa tuhan adalah ilusi dan bahwa para jemaah itu mencari kebutuhan kanak-kanak soal keamanan dan pengampunan. Penjelasan psikologis yang lebih baru adalah gagasan bahwa evolusi manusia telah menciptakan “lubang berbentuk tuhan” atau telah memberi kita sebuah “mesin tuhan” metaforis yang mendorong kita untuk percaya pada suatu ketuhanan. Pada dasarnya hipotesis ini menyatakan bahwa agama merupakan suatu produk sampingan dari sejumlah adaptasi kognitif dan sosial yang sangat penting dalam perkembangan manusia. Beradaptasi untuk menjadi beriman Manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan cara yang kooperatif dan suportif. Dengan melakukan hal ini kita jadi punya ikatan yang lebih kuat dengan beberapa individu dibanding yang lain. Psikolog Inggris John Bowlby mendemonstrasikan pengaruh keterikatan ini pada perkembangan emosi dan sosial anak-anak. Dia menunjukkan rasa keterikatan ini dapat terancam jika terjadi pemisahan atau pelecehan. Kita terus mengandalkan keterikatan ini di kemudian hari, ketika jatuh cinta dan berteman, dan bahkan dapat membentuk ikatan yang kuat dengan hewan non-manusia dan benda mati. Tidak sulit dipahami bahwa rasa keterikatan yang kuat ini dapat disalurkan kepada dewa-dewa agama dan utusan nabi-nabi mereka. Hubungan kita bergantung pada kemampuan untuk memprediksi bagaimana orang lain akan berperilaku dalam semua situasi dan waktu. Tapi kita tidak perlu berada di depan hal-hal yang erat ikatannya dengan kita untuk memprediksi tindakan mereka. Kita dapat membayangkan apa yang akan mereka lakukan atau katakan. Kemampuan ini–dikenal sebagai pemisahan kognitif–berasal dari masa kanak-kanak melalui permainan pura-pura. Dari kemampuan kita membayangkan pikiran seseorang yang kita kenal ke membayangkan pikiran sesuatu yang mahakuasa, mahatahu, dengan cara pikir mirip manusia itu hanya sebuah lompatan kecil - terutama jika kita memiliki teks-teks religius yang menceritakan tindakan masa lalu mereka. Berbagi iman. Mamma Belle and the kids/Shutterstock Adaptasi kunci lain yang dapat mendorong keyakinan beragama adalah kemampuan manusia menyematkan sifat atau kualitas manusia pada suatu objek benda atau antropomorfisme. Pernahkah Anda melihat siluet seseorang hanya untuk menyadari bahwa sebenarnya sebuah mantel tergantung di pintu? Kemampuan untuk menyematkan bentuk dan perilaku manusia pada benda-benda non-manusia menunjukkan bahwa manusia juga bisa menyematkan kualitas yang kita miliki pada entitas non-manusia, seperti dewa, dengan demikian, memudahkan merasa terhubung dengan mereka. Manfaat perilaku Selain aspek psikologis ini, perilaku ritual yang terlihat dalam kegiatan ibadah kolektif membuat kita menikmati dan ingin mengulangi pengalaman-pengalaman. Menari, bernyanyi, dan mencapai keadaan seperti trance menonjol di banyak masyarakat leluhur dan masih ditunjukkan di masa kini- termasuk oleh orang-orang Sentinel, dan Aborigin Australia. Ritual formal bukan hanya merupakan kegiatan pemersatu, ritual-ritual ini juga bahkan mengubah kimia otak. Mereka meningkatkan kadar serotonin, dopamin, dan oksitosin di otak–bahan kimia yang membuat kita merasa baik, ingin melakukan sesuatu dan memberikan kedekatan kepada orang lain. Adaptasi kognitif ini difasilitasi oleh norma-norma pendidikan dan rumah tangga yang tidak bertentangan dengan ide-ide agama. Meski kita didorong untuk mempertanyakan ide-ide yang tidak memiliki basis bukti kuat yang disajikan pada masa kanak-kanak–seperti Santa Claus atau Peri Gigi–kita tidak didorong untuk mempertanyakan agama. Mempertanyakan agama sering kali tidak dianjurkan dalam ajaran agama dan terkadang dianggap sebagai dosa. Terlepas sudut pandang Anda, dampak agama dan pemikiran agama pada fungsi dan evolusi manusia adalah suatu debat intelektual yang menarik yang tidak menunjukkan tanda-tanda berakhir. Tentu saja, orang mungkin berpendapat bahwa tuhan menciptakan semua hal yang diuraikan di atas tapi kemudian ini membawa kita ke pertanyaan lain yang lebih besar apakah buktinya bagi Tuhan?
Bisakah memilih keputusan menajdi ateis di tanah air?Foto Monique Rijkers Di Indonesia menjadi ateis tampaknya belum bisa menjadi pilihan hidup yang dinyatakan secara terbuka karena masyarakat yang sangat agamis. Apalagi jika RUU KUHP yang mempidanakan agnostik dan ateisme diberlakukan. Padahal memilih untuk tidak beragama sejatinya adalah hak asasi manusia. Beragama karena warisan keluarga adalah tipikal orang Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang sangat religius. Seluruh kehidupan sebagai seorang warga negara di Indonesia tak jauh dari urusan agama. Ritual agama melingkupi kehidupan masyarakat di Indonesia mulai dari melek bangun tidur hingga merem mau tidur lagi. Bahkan novel jadul Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yang dinilai sebagai salah satu karya sastra penting dan penulisnya mendapat Hadiah Tahunan Pemerintah Republik Indonesia tahun 1969 di ujung kisah mengangkat penyesalan seorang ateis yang meninggalkan agama. Seiring dengan makin luasnya wawasan seseorang, memeluk agama bukan berarti menerima apa adanya atau percaya begitu saja. Peristiwa tertentu, pengalaman hidup atau pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban bisa menjadi pemicu bangkitnya kesadaran yang mempertanyakan eksistensi Tuhan. Paling tidak, itulah yang terjadi pada Stefen Jhon. "Tahun 1999 ketika Ambon dilanda konflik horizontal yang berkepanjangan, saya mulai mempertanyakan tentang Tuhan. Ketika itu saya begitu khusyuk berdoa Novena agar kampung dan rumah saya dijauhi perusuh sampai akhirnya diserang oleh pihak lawan. Kami terpukul mundur, di situlah saya berpikir, apa Tuhan punya maksud lain? Apa gunanya kami berperang membela agama? Selemah inikah Tuhan yang saya sembah? Saya jadi skeptis, sangat skeptis. Saya mulai mencari literatur dan saya tahu semua tentang Tuhan dan gereja namun saya membunuh satu persatu keimanan saya terhadap Tuhan.” Setelah pergumulan batin selama enam tahun, tahun 2005 Stefen Jhon memilih menjadi ateis. Keributan tak dapat dihindari di rumah karena ia menolak ke gereja. Namun ia tidak mengajarkan anak-anak untuk menjadi ateis seperti dirinya. Justru ia senang melihat keluarganya kelihatan bahagia menjalankan ritual Monique RijkersFoto Monique Rijkers Ada Wadah Komunitas Ateis Di Indonesia, Stefen Jhon tidak sendiri. Mereka yang menggugat keimanan bergabung dalam komunitas-komunitas free-thinker, agnostik tidak mempercayai agama dan ateis tidak mempercayai Tuhan yang berada di media sosial atau grup-grup WhatsApp. Di dunia maya ada saja orang yang mulai mempertanyakan kebenaran agama dan kepercayaan yang mereka anut. Makin banyak yang kritis pada konsep tentang Tuhan dan merasa agama tidak memberikan informasi yang memadai untuk diterima secara intelektual. Karl Karnadi, pendiri dan moderator komunitas ateis di Indonesia dengan nama Indonesian Atheists sejak tahun 2008 ketika ditanya data ateis terakhir mengaku ada 1500-an anggota. "Tujuan utama bukan untuk mengumpulkan ateis di Indonesia tetapi memberikan tempat yang aman dan nyaman bagi ateis dan kaum minoritas di Indonesia yang didiskriminasi dan jarang bisa terbuka di lingkungan nyata. Karena itu yang diterima menjadi anggota Indonesian Atheists adalah mereka yang bertujuan sama. Selain komunitas Indonesian Atheists, ada pula grup Facebook dengan nama "Anda Bertanya Ateis Menjawab” dengan jumlah anggota 60 ribu orang yang menampung beragam pertanyaan seputar ateis dan menjadi wadah untuk mengenal para ateis yang sama seperti manusia biasa seperti warga negara Indonesia lainnya. Menjadi Ateis Tidak Bisa Dihukum Tetapi bisa dibilang mereka yang benar-benar ateis dan keluar dari agama sepenuhnya serta berani mengakui di dunia nyata, terbuka di depan keluarga, rekan kerja dan pergaulan sosial belum banyak. Sejumlah ateis yang saya kontak untuk mencari tahu testimoni merekaterkait agama dan Tuhan enggan memberikan foto dan menolak publikasi. Alasan yang diberikan bermacam-macam, "Orangtua saya dan anak-anak saya bisa dikecam”, "Saya punya pekerjaan” atau alasan diplomatis seperti "Saya belum tepat sebagai narasumber” dan "Ini ranah pribadi”. Beberapa orang mengaku masih melakukan ritual agama sebagai kegiatan sosial bukan spiritual karena memang tidak lagi percaya adanya Tuhan. Keengganan para ateis di Indonesia mengungkap identitas diri mereka, sangat saya maklumi karena dipengaruhi kondisi di Indonesia yang kerap emosional atau bahasa gaul masa kini baper bawa perasaan dalam urusan agama dan memandang tidak beragama sebagai bentuk penodaan agama sehingga meminggirkan kebebasan berbicara dan berpendapat yang sejatinya merupakan hak setiap orang. Pengalaman buruk pernah dialami Alexander Aan seorang pegawai negeri sipil di Sumatera Barat pada tahun 2012 yang dipenjara 2,5 tahun karena menulis status "Tuhan itu tidak ada” di Facebook pribadinya. Ateis-nya tidak dihukum tetapi karena menyebarkan pendapat di media elektronik maka Alexander Aan dijerat pasal penodaan agama dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE. Ateis dianggap menodai agama alih-alih menjadi sebuah pilihan bebas semua orang, hak asasi manusia yang universal dan berlaku termasuk untuk warga negara Indonesia. Padahal Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada tahun 2012 menyatakan tidak ada yang bisa menghukum individu ateis atau komunis jika mereka mengakui apa yang dianutnya secara pribadi. Melindungi Pilihan Hidup Individu Dalam aturan hukum di Indonesia tidak ada yang spesifik melarang seseorang menjadi ateis tetapi karena dalam Pancasila sebagai dasar negara dimuat "Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertama maka diasumsikan semua warga negara Indonesia akan memilih salah satu agama yang diakui di Indonesia. Jika sila pertama menjadi rujukan seseorang beragama, idealnya rujukan sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” menjadi dasar memperlakukan manusia lain termasuk para ateis yakni secara adil dan beradab. Selain menerapkan sila pertama Pancasila sebagai standar beragama di Indonesia, berbagai aturan administrasi kependudukan tidak jauh-jauh dari identitas agama. Kewajiban mencatatkan pernikahan yang dilakukan berdasarkan hukum suatu agama mengacu pada Undang-undang Pernikahan Tahun 1974 sehingga seorang ateis harus memilih salah satu agama untuk menikah dengan orang Indonesia atau meresmikan pernikahannya di Indonesia. Aturan administrasi kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk e-KTP dan Kartu Keluarga masih memberlakukan pengisian kolom agama. Sejak tahun 2016 untuk penganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah pada kolom agama dapat ditulis "Penghayat Kepercayaan” atau dikosongkan. Pilihan bagi pemeluk kepercayaan lokal ini logikanya bisa menjadi pilihan bagi para ateis di Indonesia guna menyiasati kewajiban memilih salah satu agama yakni dengan cara mengosongkan kolom agama. Namun opsi ini tidak banyak dipilih para ateis guna menghindari keruwetan prosedur administrasi kependudukan yang dampaknya menyasar urusan pendidikan dan pekerjaan walau secara hukum Mahkamah Konstitusi menyakini kata "agama” dalam Pasal 61 dan 64 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tidak memiliki ketentuan hukum mengikat secara bersyarat. Meski tidak dilarang menjadi ateis di Indonesia namun seorang ateis dilarang menyebarkan ajaran ateis di Indonesia. Sejauh ini tidak ada yang menyebarkan ateisme dan agnostik melalui organisasi secara resmi. Kecemasan terbesar saya adalah hilangnya kebebasan bersuara para ateis dan agnostik jika Rancangan Undang-Undang KUHP yang memuat pasal tindak pidana terhadap agama ditetapkan sebagai undang-undang sebab orang yang mengajak tidak menganut agama agnostik bisa dipidana dengan pidana penjara. Idealnya KUHP melindungi pengakuan secara terbuka seorang ateis dan agnostik dan tidak membuat seseorang dipenjara karena tidak mengakui adanya Tuhan dan/atau tidak beragama karena itulah pilihan hidup seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang dimiliki setiap orang. Bahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 18 menyatakan setiap orang berhak berganti agama atau kepercayaan. Saya mengasumsikan pasal itu mencakup melindungi mereka yang berganti agama menjadi tidak beragama. monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator IAMBRAVEINDONESIA. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis *Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.
- Simak penjelasan mengenai agnostik dalam artikel ini. Meyakini suatu aliran kepercayaan maupun agama merupakan hak masing-masing individu. Berbicara tentang agama atau kepercayaan, ada suatu paham yang disebut agnostik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, agnostik adalah orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi misalnya Tuhan tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui. Sementara dikutip dari agnostisisme adalah suatu pandangan bahwasanya ada atau tidaknya Tuhan atau hal-hal supranatural adalah suatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diketahui. Baca juga Pengertian Tanggung Jawab sebagai Warga Negara dan Contohnya Baca juga Apa Itu ODGJ? Ini Pengertian, Gejala, dan Penyebabnya Kemudian menurut maksud dari agnostik adalah seseorang yang berpendapat bahwa keberadaan penyebab utama, sebagai Tuhan, dan sifat esensial dari segala sesuatu tidak diketahui dan tidak dapat diketahui, atau bahwa pengetahuan manusia terbatas pada pengalaman. Agnostik sering dianggap sama dengan ateis. Faktanya, agnostik dan ateis memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut KBBI, ateis adalah orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Kata ateis berasal dari bahasa Yunani 'atheos', yang dibangun dari akar kata a- "tanpa" dan theos "dewa". Ateisme adalah doktrin atau kepercayaan bahwa tidak ada Tuhan. Definisi ateisme sangat beragam, seseorang yang tidak mempercayai adanya Tuhan dan agama karena tidak dapat dibuktikan secara empiris atau nyata keberadaannya. Atheisme mendefinisikan secara luas bahwasanya kepercayaan adanya Tuhan maupun dewa adalah tidak nyata. Perbedaan Agnostik dan Ateis
NilaiJawabanSoal/Petunjuk ATEIS Orang yang tidak percaya adanya Tuhan DAHRIAH Orang-orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan BERTUHAN 1 percaya dan berbakti kpd Tuhan; beribadah orang yang tidak ~, orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan; 2 memuja sesuatu sebagai Tuhan janganlah kita ~ kpd berhala; FASIK 1 tidak peduli terhadap perintah Tuhan; 2 orang yang percaya kpd Allah, tetapi tidak menjalankan perintah-Nya; RELIGI Kepercayaan kepada Tuhan SABAR Orang ... disayang Tuhan SKEPTIS Tidak Percaya Kepada Orang Lain PISTANTHROPHOBIA Tidak Percaya Kepada Orang Lain BUKTI Sesuatu Yang Buat Orang Percaya ATEISTIS Bersifat tidak mengakui adanya Tuhan FATALIS Orang yang percaya atau menyerah saja pada nasib CURIGA Tidak percaya kepada orang lain, berhati-hati KABIL Ingkar terhadap tuhan atau orang tua ATEISME Paham yang tidak mengakui adanya Tuhan DURHAKA Ingkar Terhadap Perintah Tuhan Atau Orang Tua KUFUR Kafir tidak percaya kpd Tuhan dan Rasul-Nya; MUKMIN Orang yang beriman dan percaya kpd Allah GROGI Tidak percaya diri, canggung saat berhadapan dengan orang banyak DEISME Ajaran yang mengakui adanya Tuhan tapi tidak mengakui agama RASUL Utusan Tuhan ANIMATOR Orang yang percaya pd kekuatan spiritual yang bukan manusia FIRAUN Orang kafir yang mengaku Tuhan pd zaman Nabi Musa BERIMAN Mempunyai keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan; berimankan percaya kpd; PENYANGSI Orang yang tidak mudah percaya; orang yang lekas bimbang; MAIDO Mencela karena tidak percaya akan perbuatan maupun hasil pekerjaan orang lain
orang yang tidak percaya adanya tuhan tts